Lengket -- namanya melekat di otak
Diusir pasir pun bergeming
Disapu ombak pun bertahan
Bagaimana cara melupanya?
Lengket -- namanya melekat di otak
Diusir pasir pun bergeming
Disapu ombak pun bertahan
Bagaimana cara melupanya?
Aku cemburu pada hujan yang mencumbu jalanan
ciumannya bertubi-tubi dan beranak genangan.Lalu aku iri pada hujan yang bermukah dengan baskara
hangat peluknya beranak warna-warni bianglala.
Tidak ada yang lebih manis dibanding mengenang waktu pertama kali bertemu. Bukan begitu?
Perjumpaan perdana tanpa tahu ujungnya apa. Bersyukur lalu jadi cinta. Kalau belum jodoh, ya mungkin hanya semalam saja.Bila berlanjut, semakin manis saling bertukar kabar dan berkelakar dengan media layar empat inci persegi. Malam-malam tidak lagi sepi. Bahkan rela tidak tidur sampai pagi.
Manakala ada jawaban, semakin gelisah saling bersentuhan dan menjalin keintiman badan. Walaupun malam-malam memang tidak pernah sepi. Dan selalu rela tidak tidur sampai pagi.
Kapan ada terucap selamat berpisah, semakin getir berteman candu dan dadah. Supaya malam-malam tidak terasa sepi. Dan akhirnya tidak tidur juga sampai pagi.
Ya, sejak awal kamu sudah menjelaskan dan aku sudah cukup mengerti.
Ini bukan perkara tidur bersama hanya semalam, tapi juga bukan cinta yang abadi.Cinta tanpa syarat itu bukan “mencintai karena”, melainkan “mencintai walaupun”.
Jaraknya sejauh apa engkau bersedia menyentuh hati dengan segala kerelaan yang kauhimpun.Liur apa yang kautinggalkan saat mengulum lidahku tadi?
Mengapa racunnya meresap sampai ke hati, buatku merindu ciummu lagi?Rajah di dua lenganmu menyambut pinggul si pemalu.
Kepada dia aku jadi buta warna.
Nila tak bermakna. Jingga biasa.(Hening tak ada kamu)
Tak bergerak. Pun tak berdetak. Aku jemu.Semalam kamu harum.
Matamu bulat. Bibirmu ranum.Namanya Iba. Ia terlahir dari rahim ibunya yang penuh belas kasih, tepat tiga puluh delapan minggu setelah dibuahi ayahnya yang sedang pulang dari melaut. Iba tak pernah kenal ayahnya yang tak pernah kembali setelah menghamili ibunya. “Ayahmu ditelan samudera,” jawab sang ibu penuh cinta, setiap kali Iba bertanya. Tapi yang terakhir kali, Ibu tak lagi bisa menjawab. Bibirnya biru dan beku. Kata orang, Ibu pergi menyusul Ayah. “Ditelan samudera?” tanya Iba pada tetangga yang menemukan jasad Ibu gantung diri di kamar mandi. “Ditelan sepi,” jawab yang terucap. Iba baru tujuh tahun waktu itu, belum mengerti rasanya ditinggal mati.
Sepasang mata Sang Lelaki mulai sayu.
Tanpa malu-malu degub Sang Perempuan lincah bertalu.Tidak perlu berucap, mereka saling mengerti dalam senyap. Lalu mendekat.. Terus dekat-dekat dan lekat. Hangat.
Nafas Sang Lelaki jelajahi ujung rambut hingga ujung kaki.
Kecupnya bergetar sampai ke ulu hati.
Sang Perempuan menghirup kulitnya nan wangi.
Sang Lelaki berkedip ingin lagi.
Desahnya meminta.
Mainkan bibir, jemari, dan daun telinga.
Bisiknya merayu seperti candu,dan dalam peluh mereka menyatu.
Dua tubuh bertaut.
Gejolak di balik selimut.
Aku menciumi tiap jengkal kulit cokelat lelakiku, mengendus setiap inci ketidaksempurnaan permukaannya: parut –parut luka tanda kejantanan, dan gores-gores halus jejak cakaranku. Membelainya saat terlelap seperti mencumbu ketidakberdayaan. Aku tergila-gila.
"Sayang, kalau seandainya semua manusia di dunia ngga setuju sama hubungan kita, dan berusaha untuk memisahkan kita, kamu mau ngga bunuh diri sama aku?"
Saya tergila-gila wangi nafasnya, kecanduan manis liurnya.
Jantung ini seperti habis dibawa berlari, gemuruh tak berhenti.Aku masih menggigil kedinginan waktu mengetik pesan singkat untuknya. “Aku kedinginan, nih. Sampe gemeteran.” Lalu kutekan tombol enter di ponsel cerdasku, disusul tombol power di remoteAC.