bagaimana bisa lupa

Lengket -- namanya melekat di otak

Diusir pasir pun bergeming

Disapu ombak pun bertahan

Bagaimana cara melupanya?

Hujan

Aku cemburu pada hujan yang mencumbu jalanan

ciumannya bertubi-tubi dan beranak genangan.
Ranting pohon belimbing pun berbagi welas asih
dari daunnya tercurah benih-benih.
Salam pada rintik yang terjun penuh gairah
beriring guntur ia bertandang dengan gagah.
Menagih mesra seperti tiada hari esok
bermanja-manjaan sampai langit bersih elok.

Lalu aku iri pada hujan yang bermukah dengan baskara
hangat peluknya beranak warna-warni bianglala.

kencan

Tidak ada yang lebih manis dibanding mengenang waktu pertama kali bertemu. Bukan begitu?

Perjumpaan perdana tanpa tahu ujungnya apa. Bersyukur lalu jadi cinta. Kalau belum jodoh, ya mungkin hanya semalam saja.
Bila berlanjut, semakin manis saling bertukar kabar dan berkelakar dengan media layar empat inci persegi. Malam-malam tidak lagi sepi. Bahkan rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih meresahkan dibanding menunggu kelanjutan hubungan. Demikian kan?
Pertemuan-pertemuan berkesinambungan penuh kerinduan berbaur kecemasan. Ah, masa-masa penuh pertanyaan. Menunggu pengakuan.
Manakala ada jawaban, semakin gelisah saling bersentuhan dan menjalin keintiman badan. Walaupun malam-malam memang tidak pernah sepi. Dan selalu rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih getir dibanding tidak menemukan jalan keluar. Apa benar?
Kencan yang bersalin rupa jadi beban. Pengkhianatan. Mencari pelepasan dari ketidakcocokan dan ekspektasi yang terlalu jauh ke depan.
Kapan ada terucap selamat berpisah, semakin getir berteman candu dan dadah. Supaya malam-malam tidak terasa sepi. Dan akhirnya tidak tidur juga sampai pagi.

Ya, sejak awal kamu sudah menjelaskan dan aku sudah cukup mengerti.

Ini bukan perkara tidur bersama hanya semalam, tapi juga bukan cinta yang abadi.
Cinta yang kamu punya ini manusiawi, akan kaucoba rawat selama-lamanya sampai kamu mati. 
Dan karena kamu tidak bermulut manis mengucap janji, kepadamu aku berikan seluruh hati.
Jadi tunggu, waktu aku bertanya apakah kamu sungguh pasangan jiwaku itu bukannya aku ragu.
Hanya manja ingin mendengarnya keluar dari mulut kamu.

Syarat

Cinta tanpa syarat itu bukan “mencintai karena”, melainkan “mencintai walaupun”.

Jaraknya sejauh apa engkau bersedia menyentuh hati dengan segala kerelaan yang kauhimpun.
Sementara syarat tanpa cinta itu cuma syahwat. 
Jaraknya hanya selemparan cawat.

Jakarta dan Bali

Liur apa yang kautinggalkan saat mengulum lidahku tadi?

Mengapa racunnya meresap sampai ke hati, buatku merindu ciummu lagi?
Getarannya masih terasa sampai ujung jemari.
Hei, Lelaki! Mari kembali!
Bibirku meranum, menagih janji.

****

Rajah di dua lenganmu menyambut pinggul si pemalu.

Terlucuti gaun dan terlepas kaitnya pengampu susu.
Cawatnya basah tersentuh jari tengahmu.
Detik itu ia milikmu. Ia dan jurang di antara dua tungkainya itu.

****

Lelaki, bangunlah lebih lekas dari burungmu.
“Kuluman kemarin masih terasa di puncak bukitku.”
Salahkan cermin di langit-langit yang jadi candu.
Karena itu, ia bukan lagi malu-malu.

****

“Hari ini kamu milikku. Kamu dan kelaminmu.”

aku cinta, kamu?

Kepada dia aku jadi buta warna.

Nila tak bermakna. Jingga biasa.
Kelabu ronanya semua sama.

Kepada dia telingaku tak dengar suara.
Lagu tanpa nada. Ucapan hampa.
Angin hanya membawa hawa.

Kepada dia mulutku tak bisa bicara.
Tak bisa bertanya. Diam saja.
Ungkapan berupa tulisan prosa.

(Kepada aku, dia tak tahu jawabannya.
Maka palingkan muka. Tak apa.
Aku masih temannya yang setia.)
...
Bangsat!
(Aku penat dan mengumpat)
Luka melepuh tak jua sembuh.
Ingin disentuh walau rapuh.
(Aku butuh)
Tanyakan asa 'ku tak kuat.
Ikuti rasa 'ku tersesat.
Kalut.
(Sudah larut, bulan menuntut)
Tubuh geliat di malam pekat.
...
Keparat!
(Aku lumat dan menghujat)

Kepingan #2

(Hening tak ada kamu)

Tak bergerak. Pun tak berdetak. Aku jemu.
Sungguhnya aku rindu. Tapi malu.
Malu atau tidak mau?
(Kamu paham. Aku diam)
Tak ada suara. Desah sahaja.
Dingin tak ada kamu.
Peluhku beku. Tangisku sayu. Aku biru.
(Dalam senyap kumengerjap)
Aku lelah bermain sepi.
Namun lebih baik sendiri.
...
(Hening hanya aku)

Kepingan #1

Semalam kamu harum.

Matamu bulat. Bibirmu ranum.
Aura merah muda dengan tanda tanya.
"Kita bahagia?"
(Kamu senyum. Aku belum)
Tutur kata aku tata.
Tak boleh ucapkan cinta. Jengah semata.
(Ini realita. Kita tidak buta)
Aku lihat kamu dari sini.
Kamu sentuh aku dari hati.
(Kita masih begini)
Romantisme berduri. Aku ngeri.

Namanya IBA

Namanya Iba. Ia terlahir dari rahim ibunya yang penuh belas kasih, tepat tiga puluh delapan minggu setelah dibuahi ayahnya yang sedang pulang dari melaut. Iba tak pernah kenal ayahnya yang tak pernah kembali setelah menghamili ibunya. “Ayahmu ditelan samudera,” jawab sang ibu penuh cinta, setiap kali Iba bertanya. Tapi yang terakhir kali, Ibu tak lagi bisa menjawab. Bibirnya biru dan beku. Kata orang, Ibu pergi menyusul Ayah. “Ditelan samudera?” tanya Iba pada tetangga yang menemukan jasad Ibu gantung diri di kamar mandi. “Ditelan sepi,” jawab yang terucap. Iba baru tujuh tahun waktu itu, belum mengerti rasanya ditinggal mati.


Umur tujuh belas tahun, ia baru mengerti rasanya ditinggal pergi. Kekasih pertamanya lebih memilih perjaka pilihan sang orang tua. Lebih memilih karena lebih gagah, lebih kaya, dan lebih segala-galanya. Iba baru mengerti rasanya sepi. Keheningan di mana denyut darah di telinga sendiri terdengar bagai gada yang berdebam. Kesendirian yang mengiris hati dengan pisau bermata kecewa. Dan hatinya pun tak pernah lagi utuh.

Hari ini ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Dia pikir dia sudah bersahabat dengan kekosongan. Tetapi jiwanya ternyata selalu menunggu untuk diisi. Entah oleh cinta lagi, atau apapun penawar benci. Hari ini Iba mencari kado untuk dirinya sendiri.

Dia ingin membeli, tapi Toko Merah di ujung jalan tidak menjual obat sepi. Mereka hanya sedia penangkal rindu, dan vaksin anti cemburu. Sudah begitu, yang berhutang dilarang. Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati. Tanpa hati yang utuh, Iba balik badan, mencari lagi. Toko Kuning yang baru seminggu buka, tawarkan pengharapan, impian masa depan, dan asa untuk sembuh. Mereka bagikan cuma-cuma selama masa promosi, asal bersumpah akan kembali lagi. Iba urungkan niat, sebab belum tentu esok hari ia masih nafas dengan semangat. Oh, lihat! Toko Hijau di gang buntu menjual bibit untuk menanam maaf, atau tumbuhkan lupa. Bayar dengan apa saja diterima. Tukar guling dengan jari tengahnya, Iba pulang membawa benih mati rasa.

Umur dua puluh tujuh tahun, ia baru mengerti rasanya mati. Jantungnya berhenti.

Sajak penuh birahi

Sepasang mata Sang Lelaki mulai sayu.

Tanpa malu-malu degub Sang Perempuan lincah bertalu.Tidak perlu berucap, mereka saling mengerti dalam senyap. Lalu mendekat.. Terus dekat-dekat dan lekat. Hangat. 

Nafas Sang Lelaki jelajahi ujung rambut hingga ujung kaki. 

Kecupnya bergetar sampai ke ulu hati. 

Sang Perempuan menghirup kulitnya nan wangi. 

Sang Lelaki berkedip ingin lagi. 

Desahnya meminta.

Mainkan bibir, jemari, dan daun telinga.

Bisiknya merayu seperti candu,dan dalam peluh mereka menyatu.

Dua tubuh bertaut.

Gejolak di balik selimut.

Kecanduan

Aku menciumi tiap jengkal kulit cokelat lelakiku, mengendus setiap inci ketidaksempurnaan permukaannya: parut –parut luka tanda kejantanan, dan gores-gores halus jejak cakaranku. Membelainya saat terlelap seperti mencumbu ketidakberdayaan. Aku tergila-gila.

Berawal dari seandainya

"Sayang, kalau seandainya semua manusia di dunia ngga setuju sama hubungan kita, dan berusaha untuk memisahkan kita, kamu mau ngga bunuh diri sama aku?"


"Bunuh dirinya gimana dulu caranya?"

"Dengan cara gimana pun yang menurut kamu paling enak."

"Kalo gitu, aku mau."

"Beneran mau bunuh diri sama aku?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Karena kamu pilihan aku, dan aku cuma punya kamu."

Ingin rasanya saya menitikkan air mata melankolis penuh haru. Tapi saya memutuskan untuk melucuti pakaiannya saja satu demi satu.

Aku merindu senyummu

Saya tergila-gila wangi nafasnya, kecanduan manis liurnya.

Jantung ini seperti habis dibawa berlari, gemuruh tak berhenti.

Saya benci jauhnya, muak pahit rasanya.
Hati ini seperti baru dibawa bersepi, sunyi tak berhenti.

Katanya, "Aku merindu senyummu."

Jam Empat Pagi

Aku masih menggigil kedinginan waktu mengetik pesan singkat untuknya. “Aku kedinginan, nih. Sampe gemeteran.” Lalu kutekan tombol enter di ponsel cerdasku, disusul tombol power di remoteAC.


Dalam hitungan detik, panggilan telepon darinya berdering masuk.
“Halo?”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Giting. Kedinginan.”
“Aku ke sana ya?”
“Hmm.” Nada dehamku mengiyakan. Sedikit ragu.
“Tanggung juga aku mau pulang, udah jam setengah tiga begini. Aku numpang tidur di tempatmu ya?”
“Hm-m.” Sedikit lebih pasti.
“Nanti jam sembilanan juga aku udah harus cabut.”
“Iya.” Paling pasti. Sambungan lalu mati.

Dalam selimut, menunggu dia mengetuk pintu, aku menilai ulang penampilanku. Keadaan rambut yang agak kusut, hidung sedikit kilap berminyak, sisa maskara di bawah mata, kaus tidur nan gombrong – bukan lingerie, perut kencang penuh terisi nasi goreng sosis babi, dan.. ah, sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Biar saja dia lihat bentukku yang seperti ini. Tak perlu lah aku bersolek lagi. Toh aku tidak merasa perlu dinilainya menarik lagi.

Dia? Siapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman? Ya, kami sering bertukar cerita, bahkan yang paling pribadi. Teman, tapi mesra? Ah, basi! Tapi kadang-kadang kami memang mesra. Sekali-sekali. Tidak sering. Jarang. Ya, kadang-kadang. Teman tidur? Dulu, pernah. Satu-dua kali. Eh, atau tiga ya? Aku lupa. Dulu itu, beberapa tahun lalu, waktu kami masih sama-sama (mengaku) lugu. Yang pasti sejak dulu tidak pernah ada ucapan bahwa kami ini ‘sepasang’. Ya, kautafsirkan sajalah sendiri bagaimana hubungan kami ini.

Beberapa minggu ini kami mulai dekat lagi. Aku bahkan tidak ingat kapan babak drama ini dimulai kembali. Selalu begini. Mungkin lebih seperti komedi. Karena begitulah biasanya kami, saling menghibur diri lalu hanyut lagi. Tidak tanpa sengaja, karena memang suka. Hanyut itu membiarkan diri lepas kendali. Sekali-sekali memang perlu, harus diakui.

Kurang lebih setengah jam, aku dikejutkan suara ketukan. Sudah tiba dia? Ah, bahkan suara mobilnya masuk halaman pun tadi tidak kedengaran.

Berusaha sesantai mungkin aku beranjak membukakan pintu. Sedikit melirik ke cermin di meja rias yang kulewati, lalu sekejap teringat bahwa aku (seharusnya) tidak peduli.

“Hey,” sapaku saat pandangan kami beradu di ambang pintu.

“Masih kedinginan?” tanyanya. Tanpa kecupan. Tanpa pelukan.

“Dikit.” Bahkan tidak ada basa-basi ‘dari mana?’ atau ‘kok jam segini baru selesai kerja?’ di jam tiga pagi.

Dia membawa masuk tas selempang komputer jinjingnya dan sebuah tas gym berisi baju. Aku sudah tahu, memang tas itu selalu dibawanya ke mana-mana. Dia selalu siap bermalam di mana saja. Sering di ruang kantornya, karena tuntutan pekerjaan yang selalu bersisa.

Aku menyamankan diri kembali di dalam selimut, sambil menunggunya berganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi. Potongan-potongan kejadian masa lalu berkejaran dalam kepalaku, ingatan dari pertama kali kita bertemu lima tahun yang lalu sampai detik tadi aku membuka pintu. Untuk yang kesekian kalinya, seperti yang biasa kulakukan setiap kami menghanyutkan diri, aku berkontemplasi: hubungan ini tidak akan mengarah ke mana-mana. Di sinilah selalu batas terjauhnya – berbagi hangat di atas ranjang, dengan atau tanpa selimut.

“Makasih ya aku boleh numpang,” katanya sambil merebahkan diri di sampingku.

“Iya.”

“Aku langsung tidur, ya.”

Sesungguhnya aku tidak mengerti, kalimat itu pertanyaan atau pernyataan. Kubalas saja, “Aku matiin lampu, ya.”

Klik. Lalu remang. Hanya cahaya sedikit menerobos tirai jendela dari lampu di lorong luar kamar. Kami saling memunggungi.

Aku bisa merasakannya gelisah. Aku bisa mendengar suara gesekan seprai dengan kakinya yang berganti-ganti posisi. Oh, sebenarnya aku pun resah. Detak jantungku berakselerasi.

Dia? Kenapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman yang baik? Ya, dia tidak pernah membocorkan rahasia. Memberi masukan bila diminta. Teman-temanku pun mengaguminya. Dia cerdas dan berwawasan luas. Arsitek yang paham seni. Pekerja keras yang arogan. Penampilannya tidak buruk, tapi tidak juga terlalu tampan. Mapan, cukup terkenal di pergaulan Jakarta Selatan. Musuh feminis yang sebenarnya dalam hati kesepian.

Lalu aku? Kenapa aku? Aku sudah berhenti mencari jawabannya – kenapa aku yang dipilihnya untuk berdiri di wilayah abu-abu. Toh, aku pun menaruhnya di wilayah yang kurang lebih berona sama di pojok hatiku. Kalau mau dibandingkan dengan pacar-pacar resminya, sejujurnya aku selalu merasa lebih baik. Mungkin tidak lebih cantik. Tetapi aku lebih bisa membuat obrolan kami menarik. Menandinginya dalam diskusi, melayaninya berargumen, menghiburnya dengan lelucon yang lucu tidak lucu selalu membuat kita tertawa bersama. Dan yang paling kusuka, kami selalu saling menggoda. Tidak ada pura-pura. Jujur, nafsu ya nafsu saja.

Lalu kami? Bagaimana dengan kami? Memang, aku tidak pernah bertanya dan menuntut apa-apa. Bahkan tidak untuk kejelasan hubungan. Ya, kami saling sayang. Tetapi jelas tidak platonik. Semua kesimpulanku hanya hasil proses analisa. Tidak pernah benar-benar keluar dari mulutnya, bagaimana konsepnya akan sosokku. Sebaliknya pun begitu. Dan aku benar-benar tidak pernah mau tahu dengan siapa lagi dia menjalin hubungan seperti ini.

Ah, bodo amat! Aku menelentangkan badan.

Dia membalikkan tubuhnya dan mulai menciumi leherku. Mendesahkan nafasnya di telingaku. Percuma berpura-pura, karena dalam hati kami memang sama-sama mau. Aku memalingkan wajah dan menyambut gamitan bibirnya. Aku selalu suka ciumannya. Lembut, tidak memburu, lidahnya seperti malu-malu. Jemariku menyusuri rambutnya yang ikal, lalu berhenti di tengkuk dan memainkan anak rambutnya di sana. Mulutku sebenarnya masih mengecap getah ganja, mungkin dia merasakannya juga, karena ciumannya tak berhenti. Seperti ingin lagi dan lagi. Tangannya mulai menyelip masuk ke balik baju tidurku. Ketika aku mulai membuka mata, badannya sudah menindihku. Mulutnya sudah mengeksplorasi titik-titik sensitif di puncak dadaku.

Tunggu.

Aku merasa ini tidak benar. Tidak seharusnya. Bukan sewajarnya. Sekali ini aku merasa tidak sebaiknya begini. Rasanya seperti berpegangan di pinggir sungai ketika arus sedang deras-derasnya. Terengah-engah, aku mendorongnya kembali ke posisi semula, lalu merapikan kembali kausku yang tersingkap. “Tunggu,” kataku, “aku.. Ehmm..”

Ah, bangsat! Aku menyumpah dalam hati. Ucapanku terdengar seperti gadis lugu yang terlalu ragu-ragu. Dia tidak menjawab dan kembali memunggungiku.

Beberapa menit aku berusaha menenangkan diri. Kenapa kali ini rasanya salah sekali? Aku tahu, salah adalah adjektiva yang seharusnya tak terhitung besarnya. Seperti dosa. Dosa ya dosa saja. Salah ya salah saja. Tidak ada terlalu salah atau terlalu dosa. Begitu logikaku di kepala. 

Ah, bodo amat! Aku memeluknya dari belakang dan mulai menciumi sisi wajahnya.

Dia kembali membalikkan badan dan menyambut juluran lidahku. Di sela-sela ciuman lalu berkata, “Bikin aku keluar.” Terdengar lebih seperti perintah. Dasar arogan! Lelaki angkuh! Tangannya membimbing tanganku membelai belalai di antara dua kakinya. Aku tidak menolak. Apalagi berontak. Menuruti birahi.

Apa yang kubelai sudah terlanjur keras. “Mau keluar di mulut apa di tangan?” tanyaku memastikan. “Di tangan aja,” jawabnya. Aku tidak merasa direndahkan. Kubuka bajuku dan kubuka bajunya, supaya kami makin hangat berhimpitan.

Tidak ada penetrasi, kali ini. Singkat cerita, pergumulan kami selesai dengan klimaksnya di tangan kananku. Kemudian seperti tidak terjadi apa-apa setelah itu. Aku menyeka ceceran maninya dengan kaus tidurku, lalu terlelap tanpa baju. Dia pun tak lama lagi mendengkur dengan pulasnya tanpa merasa perlu menjelaskan apa-apa. Hanya ucapan terima kasih setelah kuseka bersih tadi.

***

Sedikit lewat dari jam empat pagi. Tanpa pertanyaan yang perlu dijawab. Tanpa solusi yang perlu dicari. Aku terbangun dengan rasa bersalah, bukan karena apa yang kembali terjadi di antara kami. Tetapi karena kaus oblong calon suamiku dipakai menyeka ceceran mani tadi.