bagaimana bisa lupa

Lengket -- namanya melekat di otak

Diusir pasir pun bergeming

Disapu ombak pun bertahan

Bagaimana cara melupanya?

Hujan

Aku cemburu pada hujan yang mencumbu jalanan

ciumannya bertubi-tubi dan beranak genangan.
Ranting pohon belimbing pun berbagi welas asih
dari daunnya tercurah benih-benih.
Salam pada rintik yang terjun penuh gairah
beriring guntur ia bertandang dengan gagah.
Menagih mesra seperti tiada hari esok
bermanja-manjaan sampai langit bersih elok.

Lalu aku iri pada hujan yang bermukah dengan baskara
hangat peluknya beranak warna-warni bianglala.

kencan

Tidak ada yang lebih manis dibanding mengenang waktu pertama kali bertemu. Bukan begitu?

Perjumpaan perdana tanpa tahu ujungnya apa. Bersyukur lalu jadi cinta. Kalau belum jodoh, ya mungkin hanya semalam saja.
Bila berlanjut, semakin manis saling bertukar kabar dan berkelakar dengan media layar empat inci persegi. Malam-malam tidak lagi sepi. Bahkan rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih meresahkan dibanding menunggu kelanjutan hubungan. Demikian kan?
Pertemuan-pertemuan berkesinambungan penuh kerinduan berbaur kecemasan. Ah, masa-masa penuh pertanyaan. Menunggu pengakuan.
Manakala ada jawaban, semakin gelisah saling bersentuhan dan menjalin keintiman badan. Walaupun malam-malam memang tidak pernah sepi. Dan selalu rela tidak tidur sampai pagi.

Tidak ada yang lebih getir dibanding tidak menemukan jalan keluar. Apa benar?
Kencan yang bersalin rupa jadi beban. Pengkhianatan. Mencari pelepasan dari ketidakcocokan dan ekspektasi yang terlalu jauh ke depan.
Kapan ada terucap selamat berpisah, semakin getir berteman candu dan dadah. Supaya malam-malam tidak terasa sepi. Dan akhirnya tidak tidur juga sampai pagi.

Ya, sejak awal kamu sudah menjelaskan dan aku sudah cukup mengerti.

Ini bukan perkara tidur bersama hanya semalam, tapi juga bukan cinta yang abadi.
Cinta yang kamu punya ini manusiawi, akan kaucoba rawat selama-lamanya sampai kamu mati. 
Dan karena kamu tidak bermulut manis mengucap janji, kepadamu aku berikan seluruh hati.
Jadi tunggu, waktu aku bertanya apakah kamu sungguh pasangan jiwaku itu bukannya aku ragu.
Hanya manja ingin mendengarnya keluar dari mulut kamu.

Syarat

Cinta tanpa syarat itu bukan “mencintai karena”, melainkan “mencintai walaupun”.

Jaraknya sejauh apa engkau bersedia menyentuh hati dengan segala kerelaan yang kauhimpun.
Sementara syarat tanpa cinta itu cuma syahwat. 
Jaraknya hanya selemparan cawat.

Jakarta dan Bali

Liur apa yang kautinggalkan saat mengulum lidahku tadi?

Mengapa racunnya meresap sampai ke hati, buatku merindu ciummu lagi?
Getarannya masih terasa sampai ujung jemari.
Hei, Lelaki! Mari kembali!
Bibirku meranum, menagih janji.

****

Rajah di dua lenganmu menyambut pinggul si pemalu.

Terlucuti gaun dan terlepas kaitnya pengampu susu.
Cawatnya basah tersentuh jari tengahmu.
Detik itu ia milikmu. Ia dan jurang di antara dua tungkainya itu.

****

Lelaki, bangunlah lebih lekas dari burungmu.
“Kuluman kemarin masih terasa di puncak bukitku.”
Salahkan cermin di langit-langit yang jadi candu.
Karena itu, ia bukan lagi malu-malu.

****

“Hari ini kamu milikku. Kamu dan kelaminmu.”

aku cinta, kamu?

Kepada dia aku jadi buta warna.

Nila tak bermakna. Jingga biasa.
Kelabu ronanya semua sama.

Kepada dia telingaku tak dengar suara.
Lagu tanpa nada. Ucapan hampa.
Angin hanya membawa hawa.

Kepada dia mulutku tak bisa bicara.
Tak bisa bertanya. Diam saja.
Ungkapan berupa tulisan prosa.

(Kepada aku, dia tak tahu jawabannya.
Maka palingkan muka. Tak apa.
Aku masih temannya yang setia.)
...
Bangsat!
(Aku penat dan mengumpat)
Luka melepuh tak jua sembuh.
Ingin disentuh walau rapuh.
(Aku butuh)
Tanyakan asa 'ku tak kuat.
Ikuti rasa 'ku tersesat.
Kalut.
(Sudah larut, bulan menuntut)
Tubuh geliat di malam pekat.
...
Keparat!
(Aku lumat dan menghujat)

Kepingan #2

(Hening tak ada kamu)

Tak bergerak. Pun tak berdetak. Aku jemu.
Sungguhnya aku rindu. Tapi malu.
Malu atau tidak mau?
(Kamu paham. Aku diam)
Tak ada suara. Desah sahaja.
Dingin tak ada kamu.
Peluhku beku. Tangisku sayu. Aku biru.
(Dalam senyap kumengerjap)
Aku lelah bermain sepi.
Namun lebih baik sendiri.
...
(Hening hanya aku)

Kepingan #1

Semalam kamu harum.

Matamu bulat. Bibirmu ranum.
Aura merah muda dengan tanda tanya.
"Kita bahagia?"
(Kamu senyum. Aku belum)
Tutur kata aku tata.
Tak boleh ucapkan cinta. Jengah semata.
(Ini realita. Kita tidak buta)
Aku lihat kamu dari sini.
Kamu sentuh aku dari hati.
(Kita masih begini)
Romantisme berduri. Aku ngeri.

Namanya IBA

Namanya Iba. Ia terlahir dari rahim ibunya yang penuh belas kasih, tepat tiga puluh delapan minggu setelah dibuahi ayahnya yang sedang pulang dari melaut. Iba tak pernah kenal ayahnya yang tak pernah kembali setelah menghamili ibunya. “Ayahmu ditelan samudera,” jawab sang ibu penuh cinta, setiap kali Iba bertanya. Tapi yang terakhir kali, Ibu tak lagi bisa menjawab. Bibirnya biru dan beku. Kata orang, Ibu pergi menyusul Ayah. “Ditelan samudera?” tanya Iba pada tetangga yang menemukan jasad Ibu gantung diri di kamar mandi. “Ditelan sepi,” jawab yang terucap. Iba baru tujuh tahun waktu itu, belum mengerti rasanya ditinggal mati.


Umur tujuh belas tahun, ia baru mengerti rasanya ditinggal pergi. Kekasih pertamanya lebih memilih perjaka pilihan sang orang tua. Lebih memilih karena lebih gagah, lebih kaya, dan lebih segala-galanya. Iba baru mengerti rasanya sepi. Keheningan di mana denyut darah di telinga sendiri terdengar bagai gada yang berdebam. Kesendirian yang mengiris hati dengan pisau bermata kecewa. Dan hatinya pun tak pernah lagi utuh.

Hari ini ulang tahunnya yang ke dua puluh tujuh. Dia pikir dia sudah bersahabat dengan kekosongan. Tetapi jiwanya ternyata selalu menunggu untuk diisi. Entah oleh cinta lagi, atau apapun penawar benci. Hari ini Iba mencari kado untuk dirinya sendiri.

Dia ingin membeli, tapi Toko Merah di ujung jalan tidak menjual obat sepi. Mereka hanya sedia penangkal rindu, dan vaksin anti cemburu. Sudah begitu, yang berhutang dilarang. Harus bayar lunas, dengan sepenuh hati. Tanpa hati yang utuh, Iba balik badan, mencari lagi. Toko Kuning yang baru seminggu buka, tawarkan pengharapan, impian masa depan, dan asa untuk sembuh. Mereka bagikan cuma-cuma selama masa promosi, asal bersumpah akan kembali lagi. Iba urungkan niat, sebab belum tentu esok hari ia masih nafas dengan semangat. Oh, lihat! Toko Hijau di gang buntu menjual bibit untuk menanam maaf, atau tumbuhkan lupa. Bayar dengan apa saja diterima. Tukar guling dengan jari tengahnya, Iba pulang membawa benih mati rasa.

Umur dua puluh tujuh tahun, ia baru mengerti rasanya mati. Jantungnya berhenti.

Sajak penuh birahi

Sepasang mata Sang Lelaki mulai sayu.

Tanpa malu-malu degub Sang Perempuan lincah bertalu.Tidak perlu berucap, mereka saling mengerti dalam senyap. Lalu mendekat.. Terus dekat-dekat dan lekat. Hangat. 

Nafas Sang Lelaki jelajahi ujung rambut hingga ujung kaki. 

Kecupnya bergetar sampai ke ulu hati. 

Sang Perempuan menghirup kulitnya nan wangi. 

Sang Lelaki berkedip ingin lagi. 

Desahnya meminta.

Mainkan bibir, jemari, dan daun telinga.

Bisiknya merayu seperti candu,dan dalam peluh mereka menyatu.

Dua tubuh bertaut.

Gejolak di balik selimut.

Kecanduan

Aku menciumi tiap jengkal kulit cokelat lelakiku, mengendus setiap inci ketidaksempurnaan permukaannya: parut –parut luka tanda kejantanan, dan gores-gores halus jejak cakaranku. Membelainya saat terlelap seperti mencumbu ketidakberdayaan. Aku tergila-gila.

Berawal dari seandainya

"Sayang, kalau seandainya semua manusia di dunia ngga setuju sama hubungan kita, dan berusaha untuk memisahkan kita, kamu mau ngga bunuh diri sama aku?"


"Bunuh dirinya gimana dulu caranya?"

"Dengan cara gimana pun yang menurut kamu paling enak."

"Kalo gitu, aku mau."

"Beneran mau bunuh diri sama aku?"

"Iya."

"Kenapa?"

"Karena kamu pilihan aku, dan aku cuma punya kamu."

Ingin rasanya saya menitikkan air mata melankolis penuh haru. Tapi saya memutuskan untuk melucuti pakaiannya saja satu demi satu.

Aku merindu senyummu

Saya tergila-gila wangi nafasnya, kecanduan manis liurnya.

Jantung ini seperti habis dibawa berlari, gemuruh tak berhenti.

Saya benci jauhnya, muak pahit rasanya.
Hati ini seperti baru dibawa bersepi, sunyi tak berhenti.

Katanya, "Aku merindu senyummu."

Jam Empat Pagi

Aku masih menggigil kedinginan waktu mengetik pesan singkat untuknya. “Aku kedinginan, nih. Sampe gemeteran.” Lalu kutekan tombol enter di ponsel cerdasku, disusul tombol power di remoteAC.


Dalam hitungan detik, panggilan telepon darinya berdering masuk.
“Halo?”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Giting. Kedinginan.”
“Aku ke sana ya?”
“Hmm.” Nada dehamku mengiyakan. Sedikit ragu.
“Tanggung juga aku mau pulang, udah jam setengah tiga begini. Aku numpang tidur di tempatmu ya?”
“Hm-m.” Sedikit lebih pasti.
“Nanti jam sembilanan juga aku udah harus cabut.”
“Iya.” Paling pasti. Sambungan lalu mati.

Dalam selimut, menunggu dia mengetuk pintu, aku menilai ulang penampilanku. Keadaan rambut yang agak kusut, hidung sedikit kilap berminyak, sisa maskara di bawah mata, kaus tidur nan gombrong – bukan lingerie, perut kencang penuh terisi nasi goreng sosis babi, dan.. ah, sebenarnya aku tidak terlalu peduli. Biar saja dia lihat bentukku yang seperti ini. Tak perlu lah aku bersolek lagi. Toh aku tidak merasa perlu dinilainya menarik lagi.

Dia? Siapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman? Ya, kami sering bertukar cerita, bahkan yang paling pribadi. Teman, tapi mesra? Ah, basi! Tapi kadang-kadang kami memang mesra. Sekali-sekali. Tidak sering. Jarang. Ya, kadang-kadang. Teman tidur? Dulu, pernah. Satu-dua kali. Eh, atau tiga ya? Aku lupa. Dulu itu, beberapa tahun lalu, waktu kami masih sama-sama (mengaku) lugu. Yang pasti sejak dulu tidak pernah ada ucapan bahwa kami ini ‘sepasang’. Ya, kautafsirkan sajalah sendiri bagaimana hubungan kami ini.

Beberapa minggu ini kami mulai dekat lagi. Aku bahkan tidak ingat kapan babak drama ini dimulai kembali. Selalu begini. Mungkin lebih seperti komedi. Karena begitulah biasanya kami, saling menghibur diri lalu hanyut lagi. Tidak tanpa sengaja, karena memang suka. Hanyut itu membiarkan diri lepas kendali. Sekali-sekali memang perlu, harus diakui.

Kurang lebih setengah jam, aku dikejutkan suara ketukan. Sudah tiba dia? Ah, bahkan suara mobilnya masuk halaman pun tadi tidak kedengaran.

Berusaha sesantai mungkin aku beranjak membukakan pintu. Sedikit melirik ke cermin di meja rias yang kulewati, lalu sekejap teringat bahwa aku (seharusnya) tidak peduli.

“Hey,” sapaku saat pandangan kami beradu di ambang pintu.

“Masih kedinginan?” tanyanya. Tanpa kecupan. Tanpa pelukan.

“Dikit.” Bahkan tidak ada basa-basi ‘dari mana?’ atau ‘kok jam segini baru selesai kerja?’ di jam tiga pagi.

Dia membawa masuk tas selempang komputer jinjingnya dan sebuah tas gym berisi baju. Aku sudah tahu, memang tas itu selalu dibawanya ke mana-mana. Dia selalu siap bermalam di mana saja. Sering di ruang kantornya, karena tuntutan pekerjaan yang selalu bersisa.

Aku menyamankan diri kembali di dalam selimut, sambil menunggunya berganti baju dan membersihkan diri di kamar mandi. Potongan-potongan kejadian masa lalu berkejaran dalam kepalaku, ingatan dari pertama kali kita bertemu lima tahun yang lalu sampai detik tadi aku membuka pintu. Untuk yang kesekian kalinya, seperti yang biasa kulakukan setiap kami menghanyutkan diri, aku berkontemplasi: hubungan ini tidak akan mengarah ke mana-mana. Di sinilah selalu batas terjauhnya – berbagi hangat di atas ranjang, dengan atau tanpa selimut.

“Makasih ya aku boleh numpang,” katanya sambil merebahkan diri di sampingku.

“Iya.”

“Aku langsung tidur, ya.”

Sesungguhnya aku tidak mengerti, kalimat itu pertanyaan atau pernyataan. Kubalas saja, “Aku matiin lampu, ya.”

Klik. Lalu remang. Hanya cahaya sedikit menerobos tirai jendela dari lampu di lorong luar kamar. Kami saling memunggungi.

Aku bisa merasakannya gelisah. Aku bisa mendengar suara gesekan seprai dengan kakinya yang berganti-ganti posisi. Oh, sebenarnya aku pun resah. Detak jantungku berakselerasi.

Dia? Kenapa dia? Aku selalu kesulitan menjelaskannya. Teman yang baik? Ya, dia tidak pernah membocorkan rahasia. Memberi masukan bila diminta. Teman-temanku pun mengaguminya. Dia cerdas dan berwawasan luas. Arsitek yang paham seni. Pekerja keras yang arogan. Penampilannya tidak buruk, tapi tidak juga terlalu tampan. Mapan, cukup terkenal di pergaulan Jakarta Selatan. Musuh feminis yang sebenarnya dalam hati kesepian.

Lalu aku? Kenapa aku? Aku sudah berhenti mencari jawabannya – kenapa aku yang dipilihnya untuk berdiri di wilayah abu-abu. Toh, aku pun menaruhnya di wilayah yang kurang lebih berona sama di pojok hatiku. Kalau mau dibandingkan dengan pacar-pacar resminya, sejujurnya aku selalu merasa lebih baik. Mungkin tidak lebih cantik. Tetapi aku lebih bisa membuat obrolan kami menarik. Menandinginya dalam diskusi, melayaninya berargumen, menghiburnya dengan lelucon yang lucu tidak lucu selalu membuat kita tertawa bersama. Dan yang paling kusuka, kami selalu saling menggoda. Tidak ada pura-pura. Jujur, nafsu ya nafsu saja.

Lalu kami? Bagaimana dengan kami? Memang, aku tidak pernah bertanya dan menuntut apa-apa. Bahkan tidak untuk kejelasan hubungan. Ya, kami saling sayang. Tetapi jelas tidak platonik. Semua kesimpulanku hanya hasil proses analisa. Tidak pernah benar-benar keluar dari mulutnya, bagaimana konsepnya akan sosokku. Sebaliknya pun begitu. Dan aku benar-benar tidak pernah mau tahu dengan siapa lagi dia menjalin hubungan seperti ini.

Ah, bodo amat! Aku menelentangkan badan.

Dia membalikkan tubuhnya dan mulai menciumi leherku. Mendesahkan nafasnya di telingaku. Percuma berpura-pura, karena dalam hati kami memang sama-sama mau. Aku memalingkan wajah dan menyambut gamitan bibirnya. Aku selalu suka ciumannya. Lembut, tidak memburu, lidahnya seperti malu-malu. Jemariku menyusuri rambutnya yang ikal, lalu berhenti di tengkuk dan memainkan anak rambutnya di sana. Mulutku sebenarnya masih mengecap getah ganja, mungkin dia merasakannya juga, karena ciumannya tak berhenti. Seperti ingin lagi dan lagi. Tangannya mulai menyelip masuk ke balik baju tidurku. Ketika aku mulai membuka mata, badannya sudah menindihku. Mulutnya sudah mengeksplorasi titik-titik sensitif di puncak dadaku.

Tunggu.

Aku merasa ini tidak benar. Tidak seharusnya. Bukan sewajarnya. Sekali ini aku merasa tidak sebaiknya begini. Rasanya seperti berpegangan di pinggir sungai ketika arus sedang deras-derasnya. Terengah-engah, aku mendorongnya kembali ke posisi semula, lalu merapikan kembali kausku yang tersingkap. “Tunggu,” kataku, “aku.. Ehmm..”

Ah, bangsat! Aku menyumpah dalam hati. Ucapanku terdengar seperti gadis lugu yang terlalu ragu-ragu. Dia tidak menjawab dan kembali memunggungiku.

Beberapa menit aku berusaha menenangkan diri. Kenapa kali ini rasanya salah sekali? Aku tahu, salah adalah adjektiva yang seharusnya tak terhitung besarnya. Seperti dosa. Dosa ya dosa saja. Salah ya salah saja. Tidak ada terlalu salah atau terlalu dosa. Begitu logikaku di kepala. 

Ah, bodo amat! Aku memeluknya dari belakang dan mulai menciumi sisi wajahnya.

Dia kembali membalikkan badan dan menyambut juluran lidahku. Di sela-sela ciuman lalu berkata, “Bikin aku keluar.” Terdengar lebih seperti perintah. Dasar arogan! Lelaki angkuh! Tangannya membimbing tanganku membelai belalai di antara dua kakinya. Aku tidak menolak. Apalagi berontak. Menuruti birahi.

Apa yang kubelai sudah terlanjur keras. “Mau keluar di mulut apa di tangan?” tanyaku memastikan. “Di tangan aja,” jawabnya. Aku tidak merasa direndahkan. Kubuka bajuku dan kubuka bajunya, supaya kami makin hangat berhimpitan.

Tidak ada penetrasi, kali ini. Singkat cerita, pergumulan kami selesai dengan klimaksnya di tangan kananku. Kemudian seperti tidak terjadi apa-apa setelah itu. Aku menyeka ceceran maninya dengan kaus tidurku, lalu terlelap tanpa baju. Dia pun tak lama lagi mendengkur dengan pulasnya tanpa merasa perlu menjelaskan apa-apa. Hanya ucapan terima kasih setelah kuseka bersih tadi.

***

Sedikit lewat dari jam empat pagi. Tanpa pertanyaan yang perlu dijawab. Tanpa solusi yang perlu dicari. Aku terbangun dengan rasa bersalah, bukan karena apa yang kembali terjadi di antara kami. Tetapi karena kaus oblong calon suamiku dipakai menyeka ceceran mani tadi.

P U T U S

Detik ini aku adalah anak kecil. Yang menangis melihat balon yang selama ini kupegang terbang menjauh setelah dilepaskan.

Sedetik sebelumnya aku adalah wanita (hampir) dewasa. Yang merelakan kekasihnya kembali menjadi orang asing.

Jatuh cinta?

Sebenarnya ini perkara Tuhan yang Maha Pembolak-balik Hati manusia. Tapi, bayangkan begini…
Tuhan telah mempersiapkan seseorang di luar sana, yang telah menggali lubang dalam perjalananmu. Seseorang yang menggali lubang bukan untuk meninggalkanmu di dalamnya ketika kamu terjatuh, tapi seseorang yang menggali lubang untuk ikut terjatuh ke dalam lubang yang dia gali sendiri.
Untuk menemanimu.
Untuk bersamamu.
Untuk menjagamu.
Sehingga kamu tidak lagi ingat bahwa kamu dulu pernah ketakutan berada sendirian dalam lubang-lubang yang sebelumnya pernah tanpa sengaja kamu masuki. Sehingga perlahan rasa sakit karena telah terjatuh ke dalam lubang-lubang sebelumnya memudar, bahkan menghilang. Yang kamu ingat adalah bagaimana dia memperlakukanmu, menghormatimu, dan menyayangimu.
Terkadang kamu ingin keluar dari lubang saat Tuhan menguji ikatan kamu dan dia, tapi kebutuhan untuk tetap bersama di dalam lubang lebih besar daripada keinginan untuk keluar lubang.
Sampai suatu saat nanti, Tuhan akan mengangkat masing-masing dari kalian keluar dari lubang untuk bertemu denganNya secara langsung, dan mungkin, melanjutkan kembali kehidupan bersama di luar lubang.
Begitulah, kurang lebih.
Jangan terjatuh sendirian, itu bukan cinta. Tapi terjatuhlah bersama-sama, itu cinta.

Bukan miliknya

"Berapa banyak yang sudah kehilangan walau belum sempat memiliki? Banyak."

TIDAK SAMA

Bayangan di cermin itu menangis saat aku tersenyum padanya.

Yes most of the times

Do people wanna hear others opinion? Sometimes. But most of the times, NO. Except from the one they love (supposed to).

Okay, here's a situation. Yes answer always come naturally in other cases, but not this one. Because there's reason behind reason. Maybe it's late at night. Maybe it's so sudden. Maybe it's a bit..yes if I may say, a bit unnecessary. Maybe it can be done some other time. Maybe..or just maybe.

There's a chance of this; you decide before you ask. And you don't wait for A YES.

So, what can I say? We, people or human, just a selfish living thing.

We do what we want. We say what we want. We do it, whenever we want to. Without hearing those whispering voices...(it's for your own good, it's for my peace of mind, it's...hey I never say NO before right?).

Maybe the situation (and God) giving me some enlightenment. I do need a break from everything.

quick judgement is painful

People claim they are sensitive. But never thought that they easily said something painful to others. Small thing matters. If you really care about someone, don't judge them too easily. Maybe it is just the cover and you have no idea what's beneath. Think about them closely, wisely, take all the time you need. Cause you will never know, one small sentence would change your destiny. Or not. We'll see. Maybe I'm just too sensitive for not letting myself hurt over and over again.

the barking of a dog does not disturb the man on a camel

Kata orang, Tuhan lebih pemurah dari jaringan internet. Skali data, foto, aib masuk ke server, seluruh dunia mengetahuinya dan tdk akan bisa lagi ditarik atau dihapus. Beda dengan bilik pengakuan dosa, ataupun panjang sabarnya Tuhan Allah.

Banyak yang bilang juga kepada saya, jangan menulis di blog dalam keadaan emosi. Tapi buat saya, emosi yang dikemas dengan bahasa yang baik, setelah disaring dengan keran nurani yang bermaksud baik, tdk akan mencelakakan siapa pun.

Saya paling tidak suka dicolek kalau sedang diam. Dan hari ini tjd sesuatu yg buat saya tdk penting, tapi nampak spt usaha membangunkan seekor macan tidur. Semua org punya sisi jahat dan baik, sekian lama saya berdiam diri melihat lusinan kalimat yg berusaha menjatuhkan sy dilontarkan, dan sy tdk bersusah payah utk menyimpan data tsbt lalu mencetaknya. Spt penduduk kota yang berani merajam seorang perempuan tuna susila, dengan keangkuhan diri seakan-akan tak pernah berbuat dosa.

Akan tetapi percayalah, manusia tak spt Tuhan yg panjang sabarnya. And I don't need enemy of my enemy just to bring somebody down. I always play solo, so don't make me break the silence and eat you up :)

God won't ask but I'm no God

Ada hal-hal yang membuat kita khawatir. Sebagaimana kita seharusnya melawan ketakutan kita, kembali lagi manusia adalah lemah dan penuh tanda tanya. What are U afraid of? None, if you're with me. But...you're not here.

Here some good writings..

God won't ask what kind of car you drove.
He will ask how many people you took to church who didn't have a car.

God won't ask the square footage of your home.
He will ask how many people you helped who didn't have a home.

God won't ask how many fancy clothes you had in your closet.
He will ask how many of those clothes you gave away to Salvation Army.

God won't ask what social class you were in.
He will ask what kind of "class" you displayed.

God won't ask how many material possessions you had.
He will ask whether those material possessions dictated your life.

God won't ask what your highest salary was.
He will ask if you trampled over any people to obtain that salary.

God won't ask how much overtime you worked.
He will ask did you work overtime for your family.

God won't ask how many promotions you received.
He will ask what you did to promote others.

God won't ask what your job title was.
He will ask did you perform your job to the best of your ability.

God won't ask how many promotions you took to chase the dollar bill.
He will ask how many promotions you refused to advance your family's quality of life.

God won't ask how many times you didn't run around around on your spouse.
He will ask how many times you did.

God won't ask how many degrees you have.
He will ask how many people you thanked for getting those degrees.

God won't ask what your parents did to help you.
He will ask what you did to help your parents.

God won't ask what you did to help yourself.
He will ask what you did to help others.

God won't ask how many friends you had.
He will ask how many people you were a friend to.

God won't ask what you did to protect your rights.
He will ask what you did to protect the rights of others.

God won't ask what neighborhood you lived in.
He will ask what other neighborhoods you visited.

God won't ask how many times you told the truth.
He will ask how many times you told a lie.

God won't ask about the color of your skin.
He will ask about the color of your heart.

God won't ask how many times your deeds matched your words.
He will ask how many times they didn't. God won't ask what neighborhood you lived in.
He will ask what other neighborhoods you visited.

God ordinarily will not show you His will in order for you to consider it.
He will show you His will when He knows you are willing to do it.

Wow, God! YOU are that great :)

But I'm no God.

Aku takut..hari ini merasa takut. Untuk kehilangan dan sakit. Jadi hari ini aku harus melawan hal itu, bahkan dengan tidak bertanya. When I'm afraid, I just love details. Well, goodbye me for now...even I'm no God :)

Terpisah

Aku tidak mencari ketenangan lonceng gereja,
pun ketujuh sakramennya.

Aku mencari ketenangan yang rasional,
tanpa kau tarik garis batas,
dan menyebutnya sakral.

Final Call

I've tried.

Dari beratus hari yang lampau. Pembelajaran yang sangat berguna. How to hide your emotion, or at least minimize it. It works..so far. But it just ain't good for all things.

Dua telinga dan satu mulut.

Aku mencoba mendengarkan, baru berbicara. Tapi kulihat itu semua sudah disaring oleh hati. Dan hati memantulkan kepedihan. Jadi kepedihanlah yang bicara.

I just need someone who listen to me, first.

Well,
maybe am just not good enough..

I've tried.

Am really-really sorry dear Jesus.

Lonesome Is Way Better

Here it goes again,
another hook.

Can feel it hanging in my chest,
when heart is too weak to be spoken,
and I can't hear a thing.

Not a drop,
not a whisper,
just silent.

But I know it's bleeding badly,
just now.

Diantara

Aku rasa kamu adalah nyata,
sebagaimana logikaku merasakanmu.

Kamu tidak lagi jauh di ujung mimpi,
dan tidak lagi asing dalam dunia.

Jembatan antara sadar dan tak sadar sudah hancur,
malam ini takkan lagi terasa panjang dan pudar.

I'll see you when I see you.

Diujung Hidung

Tuhan diam di ujung hidungku…
Tiap kubicara kutak bisa lihat Dia,
tapi kutahu sepertinya Dia mendengar.

Tuhan tinggal disana,
di suatu titik rawan tak terlihat.
Hanya ujung lidah kebenaranku yang menggapai-Nya,
bukan kata-kata yang hilang menjadi asap dan debu.

Tidak ada yang bisa jadi Tuhanku,
mereka terlalu dangkal untuk berada di tengah,
antara otak, mulut, dan hatiku.

Hanya Tuhan yang tinggal diam di ujung hidungku,
Dia yang mampu.

Labuhan Jiwo

Ada suatu senja, dengan secangkir kopi dan renungan.

Tentang mimpi-mimpi yang terbilas waktu,
memudar dari harapan tapi tak dari ingatan.

Tentang jatuh bangunnya ujung kepala hingga kaki,
menghajar jalanan yang lebih manis dari kenyataan yang ada.

Kita masing-masing pernah susuri lembar buku,
belum habis sudah terbakar bersama amarah,
tinggalkan abu derita dan sebuah tanda tanya.

Akankah ini jalan terahir yang kita tempuh,
kalimat yang menggantung di langit kamar,
membayang di pelupuk mata jauhkan kantuk.

Sampai akhirnya harihari jadi perjalanan,
baris per baris kita tulis sebagai proses,
menasbihkan kata kita dalam sebuah buku baru.

If One Day You'll Ask Why

Mungkin tidak akan ada yang lebih baik, yang lebih bisa membuatku santai menjalani hidup. Mungkin dan sangatlah mungkin.

Akan tetapi itu jauh lebih baik, sangat lebih baik dibanding hidup dengan trauma yang berlebihan, luka batin yang sulit sekali untuk disembuhkan. Jauh jauh lebih baik.

Karena manusia di dunia ini hidup untuk berusaha, bekerja dan berbuat baik. Bukan untuk bersantai. Tanpa cinta, apakah hidup ini pantas untuk dijalani?

Sepertinya tidak. Dan cinta, tidak dapat "dibeli" sampai kapanpun.

He ask only for....

We all, are running out of time...
We're trying to be punctual,
but actually we're already drop dead without His will...
without the time that He gives.
When we're trying to catch up our date,
being on time on our meeting,
or finishing the job..
one thing for sure,
we sometimes forgot our DEAL in this world.
We live for a moment, and living is not our main goal.
Our big goal is heaven, and now..it's all about doing something useful, for ourselves, for the sake of our soul and for others.
Let's not forget our main goal,
give Him our time, even when we're in such a hurry,
He only ask for that one time, or another, but not much.
I'm sure of that.

Rekonstruksi

Jangan berkata tidak pernah dan tidak akan,
karena alam mempunyai selera humor luar biasa,
mengobrak abrik tatanan hidup,
dan menjungkir balikkan dunia(mu).

Tidak ada kesenangan yang panjang,
tidak ada kesedihan yang tak usai,
kehidupan yang baru selalu siap sedia,
selama kita menggerakkan niat untuk menghirupnya.

Untung dan malang,
bukan suatu akhir kalimat.

Mereka hanyalah awal.

Memory

No matter how hard you try,
eyes never lie.

Lepas senja

Cerita yang berulang, di fase hidup berbeda,
pelaku terus menerus sama,
hanya masalah yang berganti.

Bukan purwa bukan klithik,
tapi kita berdua tahu kita siapa (dan yang mana).

Malam sudah turun menggeser sendja,
hanya sedikit waktu sebelum kita pudar,
menghilang bersama naiknya matahari.

Pertanyaan no.3

“Kapankah cukup itu sudah cukup?”

Sabar dan ikhlas berada di puncak daftar mata pelajaran hidup di mana saya paling sering dapat nilai merah. Tak lulus, malah. Wajar, karena tak cuma sekali-dua saya bolos dari kelas. Kalau begini, kapan bisa naik ke tingkat sabar tanpa batas?

Nah, seharusnya sabar itu berbatas atau tidak? Kalau kata ‘seharusnya’ terdengar terlalu keras, saya lembutkan jadi ‘sebaiknya’. Sebaiknya sabar itu berbatas atau tidak, menurutmu? Mungkinkah batasnya sabar adalah kebijaksanaan? Maksudnya, kalau sabar terus-menerus dizalimi orang lain, apakah bijaksana membiarkan kezaliman dibiarkan terjadi atas diri sendiri begitu saja?

Ini membawa kita pada kata “maaf”. Memaafkan, tepatnya. Orang yang penyabar biasanya pemaaf. Orang pemaaf biasanya pemberi kesempatan kedua, ketiga, dan seterusnya. Nah, itu dia. Seterusnya apa ada batasnya? Kapankah waktunya berkata, “Cukup, saya sudah tidak bisa memberikan kesempatan lagi.”? Mungkin memang sebaiknya memaafkan itu dibedakan dari pemberian kesempatan berikutnya. “Ya, saya maafkan, tapi maaf, tidak lagi dapat memberi kesempatan,” begitu?

Bagaimana dengan kasus lain, seperti misalnya sudah mencoba berkali-kali tetapi tetap gagal terus? Kapankah akhirnya kita menyadari kalau memang tidak bisa ya tidak bisa saja. Cukuplah sudah mencoba. Tidak usah keras kepala. Keras di bagian tubuh lain saja, yang lebih menggugah selera (OH!).

Seorang teman yang saya berikan pertanyaan ini menjawab, “Tidak akan pernah ada kata ‘cukup’.” Saya hanya berdoa, semoga dalamnya hati yang tak terukur dan luasnya semesta yang tak terkira masih membuka sejuta kemungkinan bahwa keadaan (apapun itu) akan menjadi lebih baik, kalau kata ‘cukup’ memang tidak pernah akan terucap. Silakan bertanya pada Sang Dosen ketika kamu duduk di kelas kesabaran dan keikhlasan: “Kapankah cukup itu sudah cukup?”.

Pertanyaan no.2

“Apakah ini cukup berharga untuk dipertahankan?”

Bagaimanakah cara kita menilai suatu hubungan itu dalam tingkatan tidak berharga, kurang berharga, cukup berharga, sangat berharga?

1. Apakah dengan hitungan berapa lama hubungan sudah terjalin?

2. Apakah dengan melihat seberapa besar pengorbanan yang sudah dilakukan kedua belah pihak untuk mempertahankan kelanjutan hubungan?

3. Apakah dengan besarnya jaminan masa depan yang lebih baik bila hubungan terus dilanjutkan?

4. Apakah dengan pertimbangan seberapa positif dukungan keluarga kedua belah pihak untuk dipertahankannya hubungan itu?

5. Apakah dengan perbandingan seberapa besar pasangan mengerti kita dibandingkan dengan jejeran mantan sebelumnya?

6. Apakah dengan sebagaimana kita telah tergantung pada pasangan untuk menjalani hari demi hari?

7. Apakah dengan menimbang seberapa manis janji yang dia ucapkan untuk kebahagiaan kita dan/atau bersama?

8. Apakah dengan mengukur seberapa tergila-gila kita padanya yang selalu membuat rindu sehingga makan tak enak dan tidur tak nyenyak?

9. Apakah dengan seberapa mapannya pasangan dan kestabilan keuangan?

10. [ isi sendiri pertimbangan pribadimu di sini]

Saat keragu-raguan untuk memutuskan antara terus melangkah berdampingan dengan orang yang sama atau menghentikan perjalanan sampai di sini saja itu muncul, inilah pertanyaan yang sebenarnya: Apakah hubungan ini cukup berharga untuk dipertahankan? Untuk setiap jawaban “ya” pada pertanyaan 1-9 di atas, saya punya antitesisnya:

1. Berapa lama hubungan sudah terjalin tidak menjamin kualitas hubungan itu sendiri. Saya yakin semua setuju. Kalau tidak setuju, mungkin hanya tidak mau mengaku.

2. Buat saya, ketika pengorbanan mulai masuk dalam hitung-hitungan, saat itulah rasa cinta mulai menipis. Karena apapun yang kita lakukan demi cinta seharusnya tidak tersebut sebagai pengorbanan. Tidak ada yang dikorbankan. Semua direlakan. Bukan?

3. Hanya Tuhan yang bisa menjamin masa depan. Dan menurut data statistik, 90% dari kekuatiran kita tidak akan terjadi, sementara 10% sisanya di luar kendali kita. Masih kuatir masa depan tidak terjamin kalau tidak bersama dia?

4. Keluarga memang berperan cukup besar dalam menentukan kelanjutan hubungan. Tapi yang menjalankan tetap kita. Sesimpel itu saja.

5. Ingin dimengerti orang lain adalah kebutuhan dasar manusia. Bagaimana bisa hidup bersama-sama kalau tidak ada saling pengertian? Tapi, kembali lagi. Membanding-bandingkan kisah baru dengan kisah lalu, menurut saya bukan tindakan yang bijaksana. Setiap hubungan punya nilai-nilai dan batas-batas toleransi masing-masing. Bukankah, sesungguhnya, tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa kita ubah selain diri kita sendiri?

6. Aaah, ketergantungan. Ya, ya, ya. Porsinya kita sendiri yang mengatur. Tapi sepertinya dari semua tulisan tentang hubungan percintaan, tidak ada yang berteori bahwa ketergantungan yang berlebihan itu baik. Kehilangan identitas diri adalah awal kekacaubalauan. Percayalah, mantan pacar saya pernah mengalaminya (EH!).

7. Janji manusia tidak ada yang bisa dipegang. Tidak ada. Selama pasangan kita masih manusia, jangan pernah menaruh kepercayaan 100%. Sekian dan terima persenan.

8. Nah, ini agak berat ini. Kalau kamu sudah pernah merasa tergila-gila pada seseorang, pasti tau rasanya ingin membelah kepala, mengambil otak dari dalam sana, dan mencucinya bersih-bersih dengan deterjen berbutiran super untuk mengeluarkan pikiran tentang dia yang tak hilang-hilang juga. Namanya juga jadi gila. Apa-apa dia. Apa-apa dia. Itu baru bicara soal yang di kepala, belum yang di hati. Maaf, untuk poin no.8 ini saya juga lemah.

9. Percaya saja, rejeki tidak akan kemana-mana kalau kita mau usaha. Kesadaran untuk memiliki kebiasaan mengatur keuangan yang baik bisa dipelajari, terutama kalau hubungan semakin serius ke jenjang yang lebih tinggi. Asalkan kita tidak menjadikan uang sebagai tolok ukur kebahagiaan. Karena dengan begitu kita justru tidak akan pernah bahagia. Ah, saya terdengar seperti motivator di tivi ya.

Jadi, apakah semua cara menentukan berharga atau tidaknya sebuah hubungan tadi salah? Tidak juga. Tergantung tujuan kita memilih pasangan. Tapi kalau saya, daripada membiarkan otak memikirkan pertanyaan-pertanyaan tadi, lebih baik melemparkan satu pertanyaan saja pada hati: “Apakah ini cukup berharga untuk dipertahankan?”. Hati tahu jawabannya lebih dulu, jauh sebelum otak memproses tanda tanya itu.

Pertanyaan no.1

"Apakah saya meminta terlalu banyak?"

Cinta itu memberi dan menerima. Katanya. Dan saya mengiyakannya. Lalu seberapa banyak kita memberi dan menerima seharusnya tidak terikat dalam ukuran metrik apapun. Tidak senti, gram, maupun ton. Bukan juga terhitung seperti dosis minum obat – berapa kali sehari, berapa sendok teh, berapa butir, sebelum atau sesudah makan. Mohon koreksi saya bila salah. Bila benar, ya mengangguk saja dalam hatimu.

Lalu setelah kita memberi, pantaskah kalau kita meminta? Saya tidak bicara soal meminta harta, tapi yang lainnya – seperti perhatian, belaian, bahkan sekedar senyuman. Hmm, maaf, sepertinya pertanyaan tadi harus disusun ulang menjadi: Pantaskah kalau hal-hal itu masih diminta? Bukankah seharusnya otomatis diterima, tanpa harus dipertanyakan lagi ada di mana? “Mana perhatiannya? Mana belaiannya? Mana senyumnya?”

Ah ya, cinta romantik yang tulus tanpa mengharap apapun kembali itu, jarang sekali orang yang punya. Mengaku saja. Iya kan? Garis bawahi pada kata romantik, ya. Karena berbeda dengan kasih Ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai Sang Surya menyinari dunia.

Dari sekian tahun pengalaman jatuh cinta, bangkit, lalu jatuh lagi, lalu bangkit, jatuh, berkali-kali sampai malam ini, saya berani menyimpulkan begini:

1. Hanya karena seseorang tidak mencintai kita sebagaimana kita ingin dicintai, bukan berarti dia tidak mencintai kita dengan sepenuh hati. Cara manusia mengungkapkan cinta itu berbeda-beda. Yang satu suka beri kejutan, yang satu memberi kebebasan. Yang satu selalu malu-malu, yang satu setiap hari bilang “I love you”.

2. Tidak ada standar bagaimana kita seharusnya diperlakukan oleh pasangan. Bahkan tidak juga ditentukan oleh pengalaman dengan sang mantan. Membanding-bandingkan yang sekarang dengan yang sudah lewat di belakang itu tidak diperkenankan. Demikian.

3. Perlakukanlah orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, tapi jangan berharap orang lain pasti akan memperlakukan kita seperti yang kita inginkan. Hanya karena kita sering membanjiri orang yang kita sayangi dengan perhatian dan belaian, bukan berarti kita pasti akan mendapatkan perlakuan yang sama dari sang objek kasih sayang.

4. Berharap untuk mendapat ungkapan cinta kembali, bukan berarti tidak mencintai dengan tulus hati. Ayolah, namanya juga berpasangan. Sepasang. Ada dua orang. Berarti dua arah. Begitu yang menyehatkan, ya kan? Jadi buat saya, jangan ragu untuk meminta, kalau memang dirasa ada yang kurang. Masalah nanti akan diberikan atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting kita sudah mengungkapkan keinginan. Yang penting kita tidak menganggap pasangan bisa membaca pikiran.

Nah, lalu, sampailah kita pada pertanyaan ini: “Apakah saya meminta terlalu banyak?”. Memang, kembali ke paragraf pertama, tidak ada takaran sebanyak apa ungkapan kasih sayang bisa diukur. Kecuali harta, ada nominalnya. Jadi, terlalu banyak adalah ketika orang yang dimintai mulai merasa keberatan. Yang sulit adalah ketika kita masih merasa tidak berkecukupan, sementara pasangan menganggap sudah berkelebihan. Bagaimana ini?

Ketika saya sakit dan berharap dimanja olehnya sementara waktunya sedang dimakan pekerjaan, apakah saya meminta terlalu banyak? Ketika dia punya teman perempuan dan bercanda menjurus ke menggoda lalu saya memintanya untuk berhenti berteman, apakah saya meminta terlalu banyak? Dan kamu, teman, pasti punya ketika-ketika lain yang diakhiri dengan pertanyaan yang sama.

Prolog

Rentangan tangan adalah rumah terindah, ketika pulang adalah kembali pada teduhnya pelukan.

Happy Sunday

Tentang hari yang disiapkan Tuhan untuk berhenti membanting tulang dan mengendus wangi melati.
Berhenti untuk pulang dan mengamini.
Dibasuh-Nya bekas jejak kaki dengan curahan tangis awan seharian,
supaya kita yang salah jalan kemarin tidak kembali pada setapak yang sama,
supaya janji memperbaiki diri dan mengubah arah bukan hanya rancangan,
supaya walaupun tidak ke mana-mana jadinya tidak tersesat jua.

Tentang hari yang dingin berangin dan bahkan siang yang menyerah tanpa perlawanan.
Dalam mendung aku bercakap dengan Bapaku.
Tidak di rumah-Nya, kujamu di rumahku.

Membaca CINTA

"Kita tidak berhenti membaca karena telah membaca satu buku, bukan?
Seperti itulah cinta.
Kembalilah mencinta, tidak peduli sesingkat apa pun ceritanya."

Seorang teman menujukan kalimat diatas ke saya.

Mungkin ada benarnya kalimat itu...tp bukannya hati tidak bisa dipaksakan? Bukan juga berarti saya adalah pemilih, tetapi tiap orang memiliki taste yang berbeda toh?

Saya tidak mau ambil pusing tentang itu... Tuhan bekerja disetiap proses hidup manusia.

Anggaplah saya tidak suka membaca buku tapi lebih suka membaca pikiran orang.

Awan abu-abu

Ketika hati bersedih, apa yg harus dilakukan?

Mengenang kejadian konyolpun tidak mengobati. Mungkin hanya membiarkannya singgah dan semua akan berlalu.

Bukannya tidak ada yg abadi?

Juruselamat

Kalau bukan Tuhan yang turun tangan,  jelas Tidak akan mungkin!
di setiap aku hampir angkat tangan dlm banyak hal..
Setelah itu, aku lihat Tuhan yang turun tangan.